Entah kepada siapa keluh ini
ditujukan. Motor tua yang ban depan-belakangnya
botak, jantungnya sering kambuhan, suaranya cempreng, dan larinya pelan nian,
membawa tubuh 62 kilo di jalan rusak, jalan berundak yang aspalnya terkikis,
batu-batu tajam dan pasir menumpuk, kiri kanan semak dan rumput yang gondrong,
menguji nyali, melawan gentar, menunaikan anjangsana menenang hati.
Barusan berpapas dengan pemilik
kebun, paruh baya legam yang gegas membonceng istri. Sejurus kemudian motor tua
ini tiba, bujang yang terkesan beranak dua, bergelantung dibawah gubuk tinggi,
melindung tubuh dari panggang matahari. Tatapnya merendah menyambut datangku.
Di halaman gubuk itu , semangka biji sebesar kepala berbaring menggoda. Di ujung sana, dibalik rimbun Hevea,
gerombolan kera mengintai seksama, mencari momen yang tepat, memanfa’atkan
kelengahan, menjemput rezky-rezky mereka hari ini.
Tak enak hati, kala si bujang
gegas memanen sebiji semangka, menghidangkannya bersama golok legam nan
tajam. Krakkk…golok membelah semangka,
sebagian dagingnya masih ranum, warnanya kurang menggoda, dan rasa masamnya 5
%, selebihnya begitu nikmat jadi cuci mulut siang itu. Si Bujang berceloteh,
tugasnya adalah pekerjaan apapun yang diperintah pemilik kebun, kadang mengolah
tanah, memanen, memupuk, menyemprot hingga memanen. Tak seberapa memang bila
dirupiah upahnya, tapi yang ilmu dan pengalaman yang diberi tak ternilai
harganya. Teladan pemilik kebun, telah
menginspirasi banyak bujang di kampong itu.
Tiang ulin berdiri dan berbaris
rapi, kokoh dan wibawa, beberapanya mulai senyam senyum, mungkin kegelian
karena, tangan-tangan lada mulai melilitnya usil. Nampak kumpulan buah-buah
lada tak lagi malu-malu, menampakkan indahnya.
Seingatku sudah 4 tahun sejak rencana besar itu diumbar paruh baya
legam. “Aku handak betanam sahang”. Ide gila bagi kebanyakan petani di kampung
ini. Tidak masuk akal, tidak realistis dan mengada-ada. Demi mewujudkan
mimpinya si petani menggali info dan berguru, dimana pembeli lada, berapa
keperluannya, berapa harganya, kapan diperlukan, seperti apa yang
diinginkan. Dipelajarilah ilmu menanam
dan memasarkan. Dicari penjual bibit berkualitas. Dicari kayu-kayu ulin yang
mendukung. Dicari tenaga kerja yang
dipercaya. Dikalkulasi keperluan. Semua dijalankan, dengan lelah, sabar dan
tetap focus.
Tak terasa ratusan juta telah di
tanam untuk mewujudkan “ide gila” itu, kini lada telah berbuah tak hanya puluh
dan ratus, tapi ribuan pohon telah bersiap-siap membayar korbanan paruh baya
legam. Saya tak akan bercerita tentang bagaimana beliau mendapat modal, tapi
saya memfocuskan pembicaraan, bagaimana beliau merelaisir ide yang gila dan
mahal. Beliau tak gusar, walau beberapa
bahkan banyak kayu ulinnya dicuri.
Positif thingking membuatnya kokoh untuk melanjutkan merealisir ide. Dia
perlu dana mencukupi kekurangan biaya, tana cabe tapi kurang berhasil, tanam
semangka sebentar lagi panen, namun melihat hasilnya seperti kurang mencukupi,
padahal masih perlu biaya banyak. Cukup mafhum diketahui, bahwa modal nanam
cabe besar dan semangka itu tak sedikit.
Paruh baya legam mulai mengumbar
keluhan dan pusingnya, mencari cara supaya dapat meutupi keperluan modal yang
besar. AKhirnya pilihan itu ditemukan
pada usaha budidaya tanam ubi kayu. Bisa
dibayangkan tanpa olah tanah dan bibit Cuma modal minta, asal ada lahan bisa
tanam. Harga per kilo 1.700, harga di
pasar 2.700 per kilo, bisa dibayangkan kalo punya lahan 10 borong saja (17x17M)
kadang tanaman 1000 pohon bisa mencapai
1 ton bahkan lebih. Artinya tanpa modal banyak dalam 6 bulan bisa memperoleh
1.700.000 bila dibagi 6 bulan sekitar 290.000 an.
Alasan perealisasian ide gila itu
lebih karena pengeluaran yang dikalkulasi beliau untuk anaknya yang sekolah dan
keperluan lainnya tak sedikit. Semoga
sukses tanam ladanya ya Pak..:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar