Kamis, 05 Mei 2016

Anjangsana : Menanam Ratusan Juta di Kebun Lada

Entah kepada siapa keluh ini ditujukan.  Motor tua yang ban depan-belakangnya botak, jantungnya sering kambuhan, suaranya cempreng, dan larinya pelan nian, membawa tubuh 62 kilo di jalan rusak, jalan berundak yang aspalnya terkikis, batu-batu tajam dan pasir menumpuk, kiri kanan semak dan rumput yang gondrong, menguji nyali, melawan gentar, menunaikan anjangsana menenang hati.

Barusan berpapas dengan pemilik kebun, paruh baya legam yang gegas membonceng istri. Sejurus kemudian motor tua ini tiba, bujang yang terkesan beranak dua, bergelantung dibawah gubuk tinggi, melindung tubuh dari panggang matahari. Tatapnya merendah menyambut datangku. Di halaman gubuk itu , semangka biji sebesar kepala berbaring menggoda.  Di ujung sana, dibalik rimbun Hevea, gerombolan kera mengintai seksama, mencari momen yang tepat, memanfa’atkan kelengahan, menjemput rezky-rezky mereka hari ini.


Tak enak hati, kala si bujang gegas memanen sebiji semangka, menghidangkannya bersama golok legam nan tajam.  Krakkk…golok membelah semangka, sebagian dagingnya masih ranum, warnanya kurang menggoda, dan rasa masamnya 5 %, selebihnya begitu nikmat jadi cuci mulut siang itu. Si Bujang berceloteh, tugasnya adalah pekerjaan apapun yang diperintah pemilik kebun, kadang mengolah tanah, memanen, memupuk, menyemprot hingga memanen. Tak seberapa memang bila dirupiah upahnya, tapi yang ilmu dan pengalaman yang diberi tak ternilai harganya.  Teladan pemilik kebun, telah menginspirasi banyak bujang di kampong itu.

Tiang ulin berdiri dan berbaris rapi, kokoh dan wibawa, beberapanya mulai senyam senyum, mungkin kegelian karena, tangan-tangan lada mulai melilitnya usil. Nampak kumpulan buah-buah lada tak lagi malu-malu, menampakkan indahnya.  Seingatku sudah 4 tahun sejak rencana besar itu diumbar paruh baya legam. “Aku handak betanam sahang”. Ide gila bagi kebanyakan petani di kampung ini. Tidak masuk akal, tidak realistis dan mengada-ada. Demi mewujudkan mimpinya si petani menggali info dan berguru, dimana pembeli lada, berapa keperluannya, berapa harganya, kapan diperlukan, seperti apa yang diinginkan.  Dipelajarilah ilmu menanam dan memasarkan. Dicari penjual bibit berkualitas. Dicari kayu-kayu ulin yang mendukung.  Dicari tenaga kerja yang dipercaya.  Dikalkulasi keperluan.  Semua dijalankan, dengan lelah, sabar dan tetap focus. 

Tak terasa ratusan juta telah di tanam untuk mewujudkan “ide gila” itu, kini lada telah berbuah tak hanya puluh dan ratus, tapi ribuan pohon telah bersiap-siap membayar korbanan paruh baya legam. Saya tak akan bercerita tentang bagaimana beliau mendapat modal, tapi saya memfocuskan pembicaraan, bagaimana beliau merelaisir ide yang gila dan mahal.  Beliau tak gusar, walau beberapa bahkan banyak kayu ulinnya dicuri.  Positif thingking membuatnya kokoh untuk melanjutkan merealisir ide. Dia perlu dana mencukupi kekurangan biaya, tana cabe tapi kurang berhasil, tanam semangka sebentar lagi panen, namun melihat hasilnya seperti kurang mencukupi, padahal masih perlu biaya banyak. Cukup mafhum diketahui, bahwa modal nanam cabe besar dan semangka itu tak sedikit.

Paruh baya legam mulai mengumbar keluhan dan pusingnya, mencari cara supaya dapat meutupi keperluan modal yang besar.  AKhirnya pilihan itu ditemukan pada usaha budidaya tanam ubi kayu.  Bisa dibayangkan tanpa olah tanah dan bibit Cuma modal minta, asal ada lahan bisa tanam.  Harga per kilo 1.700, harga di pasar 2.700 per kilo, bisa dibayangkan kalo punya lahan 10 borong saja (17x17M) kadang tanaman 1000  pohon bisa mencapai 1 ton bahkan lebih. Artinya tanpa modal banyak dalam 6 bulan bisa memperoleh 1.700.000 bila dibagi 6 bulan sekitar 290.000 an.

Alasan perealisasian ide gila itu lebih karena pengeluaran yang dikalkulasi beliau untuk anaknya yang sekolah dan keperluan lainnya tak sedikit.  Semoga sukses tanam ladanya ya Pak..:)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar