April 2016, musim panen tiba,
sawah kembali ramai. Dari bapak tani,
ibu tani, hingga anak-anak mereka sedang menyibukkan diri di sawah. Memanen padi, ada yang melibatkan anggota
keluarga, ada yang gotong-royong (baarian), ada pula yang ngupah orang. Musim panen menambah lapangan kerja baru,
kerja upahan memanen, kerja merontok gabah, kerja mengangkut hasil rontokan ke
rumah-rumah petani. Warung pun semakin
ramai dan laris, minuman segar dan dingin begitu diminati, aneka gorengan akan
cepat ludes, bahkan proyek bertambah dengan orderan nasi bungkus yang rutin.
Petani yang lebih dulu panen,
menikmati harga 5.500 per kilo untuk padi varietas R-42, sedangkan untuk padi
varietas ciherang, mekongga, maupun Inpari hanya berkisar 3.800. Hal itu disebabkan, jumlah penanaman R-42
lebih sedikit disbanding jumlah penanaman varietas unggul anjuran, sementara
permintaan akan varietas ini cukup tinggi.
Saat ini kisaran harga perkilo antara 4.200-4.400, baik untuk R-42
maupun varietas 100-an hari. Sedangkan
untuk varietas lokal seperti varietas Siam-siaman penulis belum mendapat info.
Harga pembelian pemerintah (HPP)
sebesar 3.700 an untuk gabah kering panen dengan kadar air 20 % lebih begitu
diingini khususnya bagi petani di pulau Jawa, dikarenakan harga pembelian tingkat
petani hanya sekitar 3.200-3.500 per kilo. Pemerintah menganggarkan dana 20 an
triliun untuk menyerap gabah dari petani, penyerapan tersebut diharapkan dapat
mengisi gudang-gudang bulog dan memberi keuntungan petani. Dampak program
tersebut bagi penyuluh, bila penyuluh mampu memasukkan/menyerap gabah petani
sebesar minimal 2000 ton per orang, mereka yang masih berstatus tenaga kontrak
akan direkomendasikan sebagai PNS atau Pegawai ASN, sedangkan bagi penyuluh PNS
dijanjikan dan dapat diusulkan untuk dinilai dan bila terpilih mendapatkan motor.
Bagi petani di Wilayah Kerja
Penyuluhan (WKP) saya, harga HPP yang ditawarkan jelas tidak diminati
petani. Memang tidak ada paksaan, petani
harus menjual gabah ke bulog, hanya saja keinginan untuk mengisi gudang-gudang
bulog begitu diharapkan petani, tapi karna harga yang ditawarkan rendah,
akhirnya keinginan itu hanya mimpi yang entah kapan terealisasi. Harapan sederhana petani, paling tidak harga
gabah bisa 5000 perkilo atau lebih. Dari sisi petani upah penanaman, biaya
pemupukan, biaya pembelian pestisida, upah merontok dan mengangkut gabah ke
rumah, bila dikalkulasi jumlahlah modal dikeluarkan tak sedikit. Sebagai contoh petani yang punya lahan 7
borong, 1 borong (17x17 M), menanam varietas R-42, memang varrietas ini musim
tanam 2016 jarang bahkan hampir tidak ada yang terserang blast seperti varietas
anjuran, tetapi serangan wereng coklat, welang sangit, tikus, dan ulat grayak
menyebabkan pengeluaran petani membengkak. Adapun biaya yang belum terhitung
seperti biaya pembelian benih, pengolahan lahan,penyemaian, pemupukan, penyemprotan,
panen, penggumbangan, dan pelabangan (penjemuran). Karna banyak petani yang enggan melakukan
analisa usaha, sehingga tidak tergambar secara detail, berapa sebenarnya modal
yang dia keluarkan.
Memang, belum maunya petani
menerapkan teknologi anjuran, adalah tantangan tak mudah yang dihadapi
penyuluh, perlu ada metode dan teknik yang tepat dalam mengemas materi
penyuluhan. Di sisi lain ketergantungan
akan rentenir dalam pembiayaan usaha, monopoli harga gabah, dan rantai tata
niaga yang panjang dan tak berpihak sering menempatkan petani dalam posisi
kalah. Entah sudah kodratnya atau belum
ketemunya formula yang pas, sering kali tanggung jawab keberhasilan pembangunan
pertanian “hanya” dibebankan kepada sosok seorang penyuluh- baik oleh pemangku
kebijakan di WKP maupun oleh atasan penyuluhan, yang dibeberapa tempat,
fenomena ini nyata di lapangan, walaupun di tempat lain pihak-pihak yang
berperan dan berkepentingan dalam pertanian saling bersinergi memajukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar