Jumat, 29 April 2016

Harga Gabah “Belum” Diingini Petani


April 2016, musim panen tiba, sawah kembali ramai.  Dari bapak tani, ibu tani, hingga anak-anak mereka sedang menyibukkan diri di sawah.  Memanen padi, ada yang melibatkan anggota keluarga, ada yang gotong-royong (baarian), ada pula yang ngupah orang.  Musim panen menambah lapangan kerja baru, kerja upahan memanen, kerja merontok gabah, kerja mengangkut hasil rontokan ke rumah-rumah petani.  Warung pun semakin ramai dan laris, minuman segar dan dingin begitu diminati, aneka gorengan akan cepat ludes, bahkan proyek bertambah dengan orderan nasi bungkus yang rutin.

Petani yang lebih dulu panen, menikmati harga 5.500 per kilo untuk padi varietas R-42, sedangkan untuk padi varietas ciherang, mekongga, maupun Inpari hanya berkisar 3.800.  Hal itu disebabkan, jumlah penanaman R-42 lebih sedikit disbanding jumlah penanaman varietas unggul anjuran, sementara permintaan akan varietas ini cukup tinggi.  Saat ini kisaran harga perkilo antara 4.200-4.400, baik untuk R-42 maupun varietas 100-an hari.  Sedangkan untuk varietas lokal seperti varietas Siam-siaman penulis belum mendapat info.


Harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar 3.700 an untuk gabah kering panen dengan kadar air 20 % lebih begitu diingini khususnya bagi petani di pulau Jawa, dikarenakan harga pembelian tingkat petani hanya sekitar 3.200-3.500 per kilo. Pemerintah menganggarkan dana 20 an triliun untuk menyerap gabah dari petani, penyerapan tersebut diharapkan dapat mengisi gudang-gudang bulog dan memberi keuntungan petani. Dampak program tersebut bagi penyuluh, bila penyuluh mampu memasukkan/menyerap gabah petani sebesar minimal 2000 ton per orang, mereka yang masih berstatus tenaga kontrak akan direkomendasikan sebagai PNS atau Pegawai ASN, sedangkan bagi penyuluh PNS dijanjikan dan dapat diusulkan untuk dinilai dan bila terpilih mendapatkan motor.

Bagi petani di Wilayah Kerja Penyuluhan (WKP) saya, harga HPP yang ditawarkan jelas tidak diminati petani.  Memang tidak ada paksaan, petani harus menjual gabah ke bulog, hanya saja keinginan untuk mengisi gudang-gudang bulog begitu diharapkan petani, tapi karna harga yang ditawarkan rendah, akhirnya keinginan itu hanya mimpi yang entah kapan terealisasi.  Harapan sederhana petani, paling tidak harga gabah bisa 5000 perkilo atau lebih. Dari sisi petani upah penanaman, biaya pemupukan, biaya pembelian pestisida, upah merontok dan mengangkut gabah ke rumah, bila dikalkulasi jumlahlah modal dikeluarkan tak sedikit.  Sebagai contoh petani yang punya lahan 7 borong, 1 borong (17x17 M), menanam varietas R-42, memang varrietas ini musim tanam 2016 jarang bahkan hampir tidak ada yang terserang blast seperti varietas anjuran, tetapi serangan wereng coklat, welang sangit, tikus, dan ulat grayak menyebabkan pengeluaran petani membengkak. Adapun biaya yang belum terhitung seperti biaya pembelian benih, pengolahan lahan,penyemaian, pemupukan, penyemprotan, panen, penggumbangan, dan pelabangan (penjemuran).  Karna banyak petani yang enggan melakukan analisa usaha, sehingga tidak tergambar secara detail, berapa sebenarnya modal yang dia keluarkan.


Memang, belum maunya petani menerapkan teknologi anjuran, adalah tantangan tak mudah yang dihadapi penyuluh, perlu ada metode dan teknik yang tepat dalam mengemas materi penyuluhan.  Di sisi lain ketergantungan akan rentenir dalam pembiayaan usaha, monopoli harga gabah, dan rantai tata niaga yang panjang dan tak berpihak sering menempatkan petani dalam posisi kalah.  Entah sudah kodratnya atau belum ketemunya formula yang pas, sering kali tanggung jawab keberhasilan pembangunan pertanian “hanya” dibebankan kepada sosok seorang penyuluh- baik oleh pemangku kebijakan di WKP maupun oleh atasan penyuluhan, yang dibeberapa tempat, fenomena ini nyata di lapangan, walaupun di tempat lain pihak-pihak yang berperan dan berkepentingan dalam pertanian saling bersinergi memajukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar